Jumat, 04 November 2016

KASUS MARSINAH

HAM  YANG TERLUPAKAN

Kita semua pasti tau tentang Marsinah. Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan.
Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim  untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.  Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.
Lalu dimana keadilan di Indonesia? Harapan seorang wanita yang menuntut keadilan dihempaskan begitu saja, bahkan nyawa pun melayang tak dihargai. Pelanggaran ham yg terjadi pada Marsinah adalah pelanggaran ham yg menyangkut pembunuhan dan penganiayaan.
Padahal Marsinah hanya meminta keadilan atas perilaku atasanya untuk menaikkan gaji minimum. tetapi atasannya itu tidak menepati janjinya, sehingga marsinah pun melakukan aksi demo, setelah kejadian itu marsinah dbunuh. jadi pelanggaran ham yang terjadi disini adalah pelanggaran hak hidup marsinah, dan juga hak tuk mengeluarkan pendapat.
Tak seharusnya yang berjuang menuntut keadilan demi kepentingan orang banyak diperlakukan seperti itu. Tindakan pemerintah pun menggcewakan,karena kasus marsinah termasuk kasus yang belum selesai sampai sekarang. Seharusnya pemerintah mengusut hingga tuntas kasus ini,karena kasus ini merupakan pelanggaran HAM yang berat,yaitu hak untuk hidup.
Karena jika tidak diusut sampai tuntas,dikhawatirkan akan ada kejadian serupa seperti yang dialami oleh Marsinah. Selain Marsinah, pembunuhan aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang kasusnya juga tak kunjung selesai.
 Mungkin saja sudah ada kejadian yang serupa namun tidak tersorot oleh media massa yang ada, dan ini menjadi bukti bahwasannya pemerintah tidak dapat melakukan tanggung jawab mereka dengan baik, yaitu mengabdi kepada masyarakat yang pada dasarnya pemerintah itu ada karena rakyat.
HAM sebuah hak yang kita miliki sejak lahir, dalam kasus ini hak dari seorang Marsinah dikunci mati untuk memperjuangkan  hak teman-teman buruhnya, yang akhirnya Marsinah tewas sebagai peredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat itu.
Jika kita membicarakan penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal Hak Asasi Manusia, kita hanya akan mendapatkan ketidakpastian hukum yang berlaku di Indonesia.
Dan jika menanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini maka kita hanya mendapatkan sebuah kenihilan. Tidak adanya penegakan hukum kasus Marsinah menimbulkan tanda tanya besar yang mengartikan bahwa pihak Penegakan hukum di Indonesia masih belum menunjukan keberaniannya.
Tetapi perjuangan Marsinah mendapat sebuah anugerah dari Republik Indonesia yaitu memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dan dikenal sebagai kasus 1713. Namun apa artinya sebuah penghargaan jika keadilan tak diperhitungkan.

Begitu besarnya perjuangan seorang wanita bernama Marsinah, hingga nyawa dia harus menjadi gantinya, penghargaan ini akan menjadi pengganti perjuangan marsinah dan penyelidikan lebih detail harus dlanjutkan untuk menyelesaikan kasusnya dan mengetahui siapa dalang yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar